Michel Foucault
Pembahasan yang
menyangkut persoalan kuasa selalu berbanding lurus dengan pengetahuan dan
pengetahuan selalu bersinggungan dengan wacana atau diskursus, sehingga antara
pengetahuan, wacana dan kekuasaan selalu dalam relasional. Kekuasaan dalam
konteks ini adalah kekuasaan yang dipahami sebagai seperangkat
sistem-sistem regulasi, aturan dan menormalisasi kehidupan masyarakat.
Kekuasaan di sini tidak bisa dilepaskan dari konstruk kebenaran yang menjadi
basis dari keabsahan pengetahuan.
Pengetahuan (dalam
bahasa Inggrisnya Knowledge): Ada banyak definisi tentang pengetahuan
diantaranya adalah:
1.
Pengakuan tentang sesuatu,
2.
Keakraban atau pengenalan sesuatu dari
pengalaman aktual,
3.
Persepsi yang jelas tentang apa yang
dipandang sebagai fakta, kebenaran atau kewajiban,
4.
Informasi dan/atau pelajaran yang
disimpan,
5.
Hal-hal yang disimpan dalam kesadaran
seperti kepercayaan, ide-ide, bangunan konsep, pernyataan, pendapat untuk
dijustifikasi dengan cara tertentu dan dengan demikian dianggap benar. (kamus filsafat,1995:th)
Ada banyak pengertian
mengenai wacana, dalam pengertian yang paling luas, wacana berarti sesuatu yang
ditulis atau dikatakan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda, dan
menandai hubungan yang lainnya dengan strukturalisme dan fokus-fokus dominannya
pada bahasa. Namun menurut pengertian Foucault, wacana didefinisikan sebagai
bidang dari semua pernyataan (statement), kadangkala sebagai sebuah
individualisasi kelompok pernyataan, dan kadangkala sebagai praktek regulatif
yang dilihat dari sejumlah pernyataan. (Lydia, 2001:100)
Paparan di atas
merupakan sebuah bukti bagaimana wacana kebenaran dibentuk dan diproduksi
melalui sebuah proses-proses dan mekanisme-mekanisme kuasa. Bahwa wacana
tidaklah bisa berdiri secara otonom dalam kerangka kebenaran objektif. Namun
lebih dari itu wacana menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses dan
mekanisme kekuasaan.
Sementara kekuasaan
dalam konteks ini bukanlah hal yang bersifat hierarkis. Semisal
kekuasaan negara, kekuasaan aparat dan sebagainya. Namun kekuasaan ini
diartikan sebagai 'yang menormalisasi', dan 'yang mendisiplinkan". Dan
kekuasaan yang sedemikian itu menyebar dan beroperasi dalam
mekanisme-mekanisme sosial yang ada. Dengan demikian tidak ada yang
disebut sebagai subjek kuasa.
1.
Biografi Foucault
Untuk
memahami tesis relasi kekuasaan pengetahuan yang menjadi substansi
pemikiran Michel Foucault, terlebih dahulu kita melihat latar belakang
kehidupan Michel Foucault. Tidak banyak yang diketahui tentang riwayat
kehidupan pribadi Foucault, karena Foucault sendiri tidak pernah dan bahkan
enggan menulis serta mempublikasikan biografinya. Hal itu terkait dengan corak
pemikirannya nanti tentang kematian pengarang (The Death of Authors).
Foucault lahir pada
tanggal 15 Oktober 1926 di Pointiers, sebuah kota yang terletak di
Negara Perancis. Ayah Foucault adalah seorang dokter ahli bedah di Pointier dan
merupakan guru besar dalam bidang anatomi di Perguruan Tinggi. Namanya Paul
Foucault. Jadi, Foucault dengan demikian adalah nama keluarga. Kakek Foucault
juga seorang dokter ahli bedah. Kakek Foucault berasal dari Fontaineblu. Ayah
Foucault mengawini Anne Malapert—ibu Foucault yang juga anak dari seorang
dokter ahli bedah. Mereka tinggal di sebuah rumah asri di Pointier yang
dibangun oleh ayah Anne – Dokter Malapert pada tahun 1903. Keluarga dokter
bedah ini dikaruniai tiga orang anak. Yang pertama seorang perempuan diberi
nama Francine, yang kedua adalah Paul Michel Foucault – atau Foucault
sendiri, dan yang ketiga adik Foucault laki-laki yang bernama Deny.(Seno Joko,
2001:113)
Sebagaimana anak-anak
kecil Perancis lainnya di tahun 40-an masa kecil Foucault adalah masa kecil
yang penuh kenangan ketakutan akan datangnya musuh yang akan menghancurkan kota
mereka. Masa kecil Foucault adalah masa saat Jerman melakukan pendudukan di
Perancis. Di Pointier – dari waktu ke waktu pesawat terbang Jerman melayang
rendah terbang keliling kota mencari target sasaran stasiun-stasiun kereta api.
Pointier sendiri adalah sebuah kota yang selalu dalam pengawasan serta control
resmi dari pasukan Jerman. Secara periodik serdadu-serdadu Jerman berpatroli di
Pointier untuk menangkapi orang-orang Yahudi dan mengirimnya ke barak-barak
konsentrasi untuk disiksa.
Karena minatnya yang
besar pada bidang sejarah itulah kemudian menjadikan pertentangan yang hebat
antara Foucault dengan ayahnya. Sebagai anggota keluarga ahli bedah, ayah
Foucault menginginkan Foucault pun mengikuti jejaknya untuk menjadi dokter.
Namun ibunya yang tahu benar minat putranya dalam bidang sejarah
pun membela Foucault ketika berselisih degan ayahnya tentang keputusan Foucault
untuk melanjutkan studinya setelah lulus college. Pada tahun 1943, setelah
lulus college, Foucault bermaksud meneruskan studynya ke Ecole Normale
Superieure untuk mempelajari sastra dan sejarah.
Saat bersekolah di Ecole
Normale inilah terlihat bakat-bakat kecerdasan Foucault, sekaligus sifat-sifat
aneh Foucault. Selama bersekolah di sana, guru-guru serta teman-temannya
mengakui bahwa Foucault adalah seorang anak yang jenius dan sekaligus juga
punya perilaku yang tak lazim di kalangan teman-temannya.
Ecole Normale memang
sebuah sekolah yang menampung anak-anak cerdas di Perancis. Maka tak heran
kemudian jika di sekolah tersebut dipenuhi dengan murid-murid yang bersikap
eksentrik. Eksetriksitas boleh dikata sebagai style serta kultur siswa-siswa
Ecole Normale. Namun eksentriksitas Foucault sangat lain dan paling tidak bisa
dimengerti.
Kelakuan paling aneh
yang paling bisa disebut dalam diri Foucault selama ia sekolah di Ecole Normale
Superiure adalah ia punya obsesi kuat untuk bunuh diri. Ia pernah ditemukan
oleh gurunya tergeletak dilantai sekolah dengan nadi tangan berlumuran darah.
Seringkali juga ia mencoba memotong nadinya. Hingga ayahnya kemudian membawanya
kepada psikiater. Di depan psikiater inilah pertama kali ia mengakui bahwa ia
adalah seorang homoseksual. Namun begitu, Foucault mau belajar psikologi. Ia
membaca karya-karya Freud yang kelak akan sangat berkaitan dengan karyanya.
Pada tahun 1955 Foucault
bekerja sebagai instruktur Perancis di Upsalla, Swedia. Di sana ia membenamkan
diri dalam perpustakaan untuk meneliti karya-karya kedokteran dari abd 16
sampai dengan abad 20. hal tersebut lah yang kemudian mengantarkannya pada
karya pertama yakni Folie et deraison (Madness and Civilization).
Kehidupan intelektual
Foucault berubah dengan cepat pada akhir tahun 50-an dan tahun 60-an. Pada
bulan Mei 1968, di Paris terjadi gelombang Revolusi yang besar. Para mahasiswa
menduduki gedung-gedung Parlemen untuk menuntut diakhirinya semua lembaga
hierarki. Aksi ini dipelopori oleh golongan kiri radikal yang menyatakan
dirinya Maois.
Pada tahun 1984 Foucault meninggal karena
terkena AIDS, walaupun dia sendiri tidak mengetahui bahwa penyebab kematiannya
adalah karena AIDS. Demikian sekilas biografi Michel Foucault. Tak banyak yang
bisa diungkap dari pribadi Foucault, karena ia tak pernah menuliskan kehidupan
pribadinya.
2.
Arkeologi Pengetahuan
Dalam awal karyanya
Foucault mengupas tentang sebuah metodologi yang dinamakannya “Arkeologi Pengetahuan”.
Dengan diterbitkannya buku The Archeology of Knowledge, pada tahun 1969
Foucault mengatakan bahwa seluruh buku-buku yang ditulisnya bergerak dalam
fokus penelitian arkeologis. Terutama untuk The Order of Things, Madness and
Civilization dan Birth of Clinic boleh dibilang merupakan batu loncatan untuk
merumuskan secara luas pendekatan arkeologi yang ditelorkannya.
Untuk menjelaskan
bagaimana model beroperasinya pendekatan arkeologis, perlu kita pahami bahwa
penelitian Foucault berpijak pada dua kosakata yakni Connaisance dan Savoir.
Connaisance adalah terma yang digunakan oleh bahasa Jerman untuk merujuk pada
sebuah korpus pengetahuan yang partikular, seperti Biologi, Ekonomi, Sejarah
dan sebagainya. Sedangkan Savoir digunakan untuk merujuk pada pengetahuan yang
general, bukan partikular. Savoir dapat dimaknai pengetahuan yang lebih umum,
tanpa harus terkotak pada satu displin tertentu.
Dalam Arkeologi Ilmu
Pengetahuan, Foucault tertarik untuk melakukan penyelidikan terhadap fenomena
kesejarahan. Dengan metode arkeologisnya, Foucault berusaha melacak elemen
pembentuk sejarah dengan menyelidiki ‘peristiwa-peristiwa (formasi) diskursif’,
‘pernyataan-pernyataan yang dibicarakan’ dan ‘dituliskan’ dalam sebuah konteks
sejarah.
Pendekatan Arkeologi
tidak memusatkan perhatian pada konteks epistemologis. Namun Foucault berusaha
meneliti pengetahuan justru dalam ruang keberadaannya yang hidup sebelum
materialisasi dan formalisasi disiplin-disiplin ilmu seperti Biologi,
Matematika, Ekonomi dan sebagainya. Foucault berusaha melacak sebuah pola yang
dalam pengetahuan akan mengakibatkan timbul dan eksis pengetahuan baru. Pola
yang hanya karena arus sirkulasi dan dinamikanya dapat mendiferensiasikan ilmu
dalam cabang-cabangnya. Bagi Foucault, arkeologi dititikberatkan pada objek,
sesuatu yang tanpa konteks, artikel-artikel serta arsip-arsip yang tersisa pada
masa lalu.
Dari hal tersebut dalam
buku The Order of Things, Foucault berusaha menjelaskan adanya keteraturan
apriori pengetahuan atau Savoir. Menurut Foucault tiap-tiap jaman akan memiliki
karakter yang berbeda-beda dengan jaman lainnya. Pada The Order of Things,
Foucault membagi sejarah Eropa dalam tiga periode, yakni Renaisance (abad XVI),
Klasik (abad XVII) serta modern (abad XIX) yang menunjukkan sebuah proses
perubahan episteme yang mendasari karakter pengetahuan pada masing-masing masa
tersebut.
Dalam memahami sejarah
Foucault melihat bahwa sejarah bukan sebagai rentetan kesinambungan tetapi
sebagai suatu ‘diskontinuitas’. Diskontinuitas oleh Foucault dinilai sebagai
sebuah keterputusan dimana sebelumnya lebih dahulu terjadi sebuah proses
distribusi tipologi pengetahuan baru. Dalam setiap perubahan jaman terdapat
perubahan-perubahan episteme yang mendasarinya. Perubahan-perubahan episteme
tiap jaman dalam konsep diskontinuitas, tidak kemudian secara radikal, seperti
membalikkan tangan. Dalam proses itu terjadi sebuah distribusi serta
multiplikasi formasi-formasi diskursif baru. Formasi diskursif inilah yang
menjadi unit paling elementer untuk mengidentifikasikan episteme.
Dalam hal ini Foucault
sepaham dengan kelompok sejarawan Perancis yang tergabung dalam Majalah Annales
yang banyak mengupas dan menguraikan sejarah berdasarkan konsep seperti
retakan, ambang, batas, seri. Peneliti-peneliti Annales semacam
Michel Serres, Gaston
Bachelard, George Canguilham semakin menonjolkan diskontinuitas yang dulu
banyak dianggap oleh sejarawan sebagai sebuah hambatan utama untuk memahami sejarah.
Perubahan episteme dalam
setiap jaman yang tidak langsung sekali jadi tersebut dijelaskan Foucault
dengan menerangkan bahwa telah terjadi penyebaran formasi diskursif dalam
masyarakat. Untuk memahami bagaimana kondisi wacana kebenaran yang ada pada
masyarakat, haruslah juga dilihat bagaimana pola penyebaran wacana yang ada.
Proses distribusi wacana akan mengakibatkan sebuah rezim kebenaran yang akan
menentukan apa yang dianggap benar dan tidak benar, penting dan tidak penting
dalam sejarah.
Dari hal tersebut
perubahan persepsi masyarakat Eropa abad 16 sampai abad 19 tentang kegilaan
seperti yang diteliti Foucault dalam bukunya Madness and Civilization,
membuktikan adanya perubahan episteme yang mendasari pula perubahan pengetahuan
yang ada pada masyarakat Eropa waktu itu. Tegasnya, realitas apapun tidaklah
mendahului sebuah diskursus, tapi dikukuhkan dan dikonstitusikan oleh diskursus
yang pada akhirnya membentuk episteme.
Dalam rangka menyelidiki
diskursus, Foucault menggunakan tiga konsep yakni positivitas, apriori historis
dan arsip. Positivitas adalah apa yang menandai kesatuan diskursus dalam satu
periode. Kesatuan yang dapat mengatakan bahwa dua orang pengarang berbicara hal
yang sama atau berbeda. Positivitas tegasnya adalah ‘lingkup komunikas’ antar
pengarang. Apa yang memungkinkan adanya positivitas oleh Foucault disebut sebagai
apriori historis. Atau lebih mudahnya, keseluruhan hal yang menjadi
syarat atau aturan untuk menentukan diskursus. Sementara arsip
adalah sistem pernyataan-pernyataan yang dihasilkan oleh berbagai
positivitas sesuai apriori historis masing-masing.
Pada langkah selanjutnya
kita perlu membedakan antara arkeologi pengetahuan dengan sejarah pemikiran.
Pada dasarnya ada empat prinsip yang membedakan kedua hal tersebut, yakni :
1)
Arkeologi tidak mengupas tentang
pemikiran, representasi, yang tersembunyi atau tampak dalam diskursus.
Arkeologi lebih membahas diskursus itu sendiri sebagai praktik yang menuruti
kaidah dan aturannya sendiri.
2)
Arkeologi tidak berusaha mencari korelasi
linier atau gradual antar diskursus antar diskursus, tapi berusaha mencari dan
melihat kekhasan dari diskursus itu sendiri.
3)
Arkeologi tidak membahas kajian tentang
individu atau ouveres. Arkeologi menitikberatkan pada tipe-tipe aturan praktek
diskursif yang berkaitan langsung dengan ouvere-ouvere individu. Oleh sebab itu
arkeologi menolak kehadiran author sebagai bagian dari kesatuan kajian.
4)
Arkeologi tidak menyelidiki kelahiran
diskursus tapi lebih pada detesis sistematik sebagai sebuah objek diskursus.(George
Ritzer, 2003:72)
Ciri yang menonjol dari
arkeologi salah satunya adalah penolakan terhadap kehadiran author dalam
mengintepretasikan sebuah teks. Dalam hal ini Foucault berpendapat bahwa
peniadaan peran author ini berpguna untuk dapat mencari modus eksistensi dari
sebuah teks yang pada nantinya berpengaruh pada pola penyebaran formasi
diskursif. Karena modus eksistensi teks pada tiap generasi berbeda, maka kita
tidak dapat kemudian menyandarkannya pada author untuk bisa mengetahuinya. Cara
mengada suatu teks tidak cukup diteliti dengan melihat kehadiran pengarang saja
tapi harus juga meneliti pada teks-teks lain di luar lingkaran author.
Pada akhirnya Foucault
merasa bahwa dalam arkeologi perlu menghilangkan fokus antropologis dan
prasangka antropologis. Pembahasan tentang manusia akan menyesatkan serta
mendistorsi pemikiran kita. Sebab individu-individu menurut Foucault adalah
bentukan dari bentuk-bentuk epistemik pada tiap-tiap jaman. Hingga kalau
Nietzsche telah mengatakan kematian tuhan, maka Foucault pun juga meramalkan
kematian manusia.
3.
Genealogi Kekuasaan
Dalam tahap arkeologi,
Foucault telah melakukan distingsi terhadap formasi-formasi diskursif dengan
formasi nondiskursif. Mutasi penyebaran formasi diskursif dipandang sebagai
proses independen dari formasi non diskursif seperti institusi. Pada tahap
genealoginya Foucault mempunyai pandangan yang sedikit berbeda terhadap formasi
non diskursif. Karena dengan mengandalkan formasi diskursif saja untuk
menganalisa rezim kuasa kebenaran pada suatu jaman hanyalah impian yang
bersifat ilusif. Sumber dari pemikirannya ini adalah essainya dalam kuliah di
College de France pada tahun 1970 yang berjudul L’orde du Discourse.
Dalam essainya itu
disebutkan bahwa penyebaran formasi diskursif dalam kerangka pembentukan rezim
kuasa kebenaran yang sebelumnya dikatakan bersifat alamiah, ternyata tidak bisa
lepas dan tidak bisa bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol dari sekian
banyak formasi non diskursif. Poin sentralnya adalah bahwa diskursus itu
berbahaya dan kekuasaan berusaha mengontrolnya. Foucault mendefinisikan ada
empat domain dimana diskursus dianggap membahayakan, yakni: politik
(kekuasaan), seksualitas (hasrat), kegilaan dan secara umum apa yang dianggap
benar atau palsu. Sama dengan Nietzsche yang mengidentifikasikan ‘hasrat untuk
kebenaran’ dan hasrat untuk berkuasa’. Foucault menolak bahwa ilmu pengetahuan
itu dikejar untuk kepentingan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan untuk
kepentingan kekuasaan. Diskursus tentang kegilaan, politik ataupun seksualitas
terpahami selama diarahkan pada pencapaian kekuasaan.
Pada tahun 1971 Foucault
mempublikasikan essainya yang berjudul ‘Nietzsche, Genealogy History’ yang
menandakan selesainya masa transisi pemikiran Foucault dari era Arkeologi
menuju ke Genealogi. Metode analisis diskursusnya bukan lagi model analisis
teks, tapi sudah menuju pada analisis ‘tubuh’. Walaupun metode ini terinspirasi
dari model Nietzsche, namun Foucault membuatnya berubah karakter sehingga
genealogi yang tampil adalah dengan ciri dan gaya khas Foucault.
Perbedaan yang khas
antara genealogi Nietzsche dengan Foucault adalah jikalau genealogi Nietzsche
menjadi sebuah alat analisis yang mempertanyakan dan membongkar adanya
afiliasi-afiliasi masa lalu yang membuat ikatan-ikatan atau karakter masyarakat
menjadi mengidentifikasi diri dengan hal-hal tertentu, (contoh bagaimana ketika
Jerman mengidentifikasi diri memiliki double soul atas segala kebencian tak
berdasar pada ras Yahudi) ini bisa kita lacak bagaimana pengidentifikasian ini
muncul. Karakter-karakter tersebut lahir dari suatu proses konfrontasi yang
panjang yang tumbuh dari permainan dominasi-dominasi yang melibatkan humanisme.
Proses humanisme adalah proses yang berjalan pada individu sebagai bagian
terkecil dari masyarakat, yang menyebabkan pikiran, tubuh, sampai moral
memiliki identitas tertentu. Maka dengan genealogi Nietzsche berusaha membalik
analisis tersebut dengan melacak titik konfrontasi, titik-titik dominasi dimana
penyelewengan yang menumbuhkan ilusi itu terjadi.Hal ini dapat ditegaskan bahwa
genealogi Nietzsche bergerak pada bidang humanisme dengan berusaha menciptakan
tatanan moral diatas tatanan moral yang oleh Nietzsche dikatakan
telah ambruk.
Sementara Foucault
mengambil fokus genealoginya pada proses pembentukan tubuh. Genalogi Foucault
berusaha memperlihatkan bagaimana relasi-relasi kekuasaan dan pengetahuan
berjalan untuk menguasai, mengontrol serta menundukkan tubuh manusia-manusia
modern Eropa hingga seperti yang terjadi sekarang.
Jadi pada tahap ini
Foucault berusaha mendudukkan antara kekuasaan dan diskursus. Ia ingin mengupas
tentang bagaimana tubuh manusia meregulasi diri, mengontrol diri di bawah
kendali kekuasaan yang direpresentasikan oleh pengetahuan yang diamini
kebenarannya.
4.
Relasi Pengetahuan dan Kuasa
Pengetahuan dan
Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus
menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya
penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi
teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan.(Eriyanto, 2003:65)
Namun yang perlu diperhatikan
di sini bahwa pengertian tentang Kekuasaan menurut Foucault sama sekali berbeda
dengan pengertian yang dipahami oleh masyarakat selama ini. Pada umumnya,
kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki
oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain.
Dalam konteks ini kekuasaan diartikan secara represif dan kadangkala malah
opresif. Yakni adanya dominasi antara subjek dan objek kekuasaan. Semisal
kekuasaan Negara pada masyarakat, raja pada rakyatnya, suami pada isteri,
pemilik modal kepada para karyawannya. Pengertian semacam itu banyak digunakan
oleh para ahli sejarah, politik dan sosial.(Haryatmoko, 2002:10)
Foucault memperlihatkan
cara membaca yang berbeda tentang kekuasaan. Cara Foucault memahami kekuasaan
sangat orisinal. Menurut Foucault kekuasaan tidak dimiliki dan dipraktekkan
dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis
berkaitan antara satu dengan yang lain. Foucault meneliti Kekuasaan lebih pada
individu, subjek dalam lingkup yang paling kecil. Karena kekuasaan menyebar
tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan
sosial. Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam
relasi-relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga. Lagipula sifatnya bukan
represif, melainkan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat.
Kekuasaan tersebut
beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran masyarakat. Karena
kekuasaan tidak datang dari luar tapi menentukan susunan, aturan-aturan,
hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa
hubungan keluarga yang menormalkan bahwa suami adalah yang harus bekerja untuk
mencari nafkah sementara isteri hanya bertugas mengurusi rumah tangga serta
merawat anak-anaknya. Atau contoh lain misalnya tentang karyawan yang secara
berdisiplin bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya. Bahwa ketaatan karyawan
tersebut bukan karena adanya represi dari bos atau pimpinan namun karena adanya
regulasi-regulasi dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan giat bukan
saja hanya karena ada ancaman atau tekanan tapi juga karena adanya semacam
struktur diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang
berprestasi dalam bekerja.
Setiap masyarakat
mengenal strategi kuasa yang menyangkut kebenaran. Beberapa diskursus diterima
dan diedarkan sebagai benar, ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan
antara benar dan tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh
dan menyebarkan kekuasaan.
Bagi Foucault kekuasaan
selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek
kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi
pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak
ditopang dengan suatu ekonomi wacana kebenaran.
Pengetahuan tidak
merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun pengetahuan berada
dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan
saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa
dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa
konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi
pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun,
dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana
tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan efek
kuasa.
Namun Foucault
berpendapat bahwa kebenaran di sini bukan sebagai hal yang turun dari langit,
dan bukan juga sebagai sebuah konsep yang abstrak. Kebenaran di sini
diproduksi, karena setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran
sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang
telah ditetapkan tersebut. Di sini kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan
rezim kebenaran tertentu yang disebarkan oleh wacana yang diproduksi dan
dibentuk oleh kekuasaan.
Dalam masyarakat modern,
semua tempat berlangsungnya kekuasaan juga menjadi tempat pengetahuan. Dalam
penelitiannya Foucault meneliti fenomena kegilaan yang menjadi lahan subur bagi
berkembangnya bidang-bidang keilmuan seperti psikiatri, psikologi, kedokteran,
sosiologi, kriminologi bahkan teologi. Produksi mendorong perkembangan ilmu
ekonomi, sosiologi, psikologi. Demikian sebaliknya, semua pengetahuan
memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan. Kehendak untuk mengetahui
menjadi proses dominasi terhadap objek-objek dan terhadap manusia. Pengetahuan
adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subjek tanpa memberi
kesan bahwa ia datang dari subjek tertentu. Karena kriteria keilmiahan
seakan-akan mandiri terhadap subjek. Padahal klaim ini sebenarnya merupakan
salah satu bagian dari strategi kekuasaan.
Foucault mendefinisikan
strategi kekuasaan sebagai melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui
wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Wacana bukan
muncul begitu saja akan tetapi diproduksi oleh zamannya masing-masing.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut; wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibatasi oleh praktek diskursif ; dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain salah. Ini seperti kalau kita mendengar kata dangdut, maka bayangan kita akan mengarah pada satu jenis musik yang tak lepas dari goyang. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Wacana merupakan sebuah arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana mampu menepis
segala hal yang tidak termasuk dalam garis ketentuannya namun juga bisa
memasukkan apa yang dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar.
Dalam hal ini objek bisa jadi tidak berubah namun struktur diskursif dibuat,
menjadikan objek tersebut berubah. Seperti contoh bakteri di lautan yang dahulu
dikategorikan sebagai hewan, namun kini ia dikategorikan dan diklasifikasikan
sebagai tumbuhan. Dalam hal ini tidak ada yang berubah dari objek bakteri
tersebut, namun karena ada struktur diskursif yang melingkupinya kemudian kita
memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat makhluk itu pada
tumbuhan.
Dalam perkembangan masyarakat modern tak
bisa lepas dari peran media massa. Media massa bukan saja berperan sebagai
penyampai informasi bagi masyarakat, namun lebih dari itu media
juga berperan bagi pembentukan wacana yang akan melatari setiap zamannya.
Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang semakin pesat, menjadikan
media massa sangat mempengaruhi segala lini kehidupan masyarakat.
5.
Simpulan
Michel Foucault yang
telah menciptakan tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Pengetahuan dan
Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik. Penyelenggaraan kekuasaan terus
menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya
penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar